Anak Cempoa Baku Sempoa






 Anak Cempoa baku Sempoa


Karya : Dhiyaul Haq
Angkatan: Insomnia


 

 

Lahir di Bandung, besar di Serang-Jakarta. Ibu dan Ayah asli Bandung. Aku berterima kasih kepada Kota Lautan Api-katanya ini telah mempertemukan kedua orang tuaku. Sering diledek itu otak kok udah kaya Jerome Polin si (pe) jabat, jago banget Matematikanya. Tapi lebih acapkali di sapa, “Hei bolehkah aku melihat PR dan catatan mu, atau setidaknya ajarkan aku sedikit. Soalnya aku lupa mengerjakannya tadi malam.” “Hmm, baiklah. Yok, sama- sama belajar, juga belajar sama-sama” Ayah dosen Matematika, Ibu guru Fisika, Nenek dan Kakek pintar dialektika. Jadilah cucu dan anak yang selalu di gembleng dengan namanya logika. Rumit sekali. Sekali aja ya, jangan sering-sering. Tiap hari pasti ada aja disuguhi dengan edukasi-edukasi yang menarik. Disamping semua itu, belajar sambil bermain. Karena kalau dipaksakan menerima semua materi pasti akan jenuh sekali jika tidak diselingi hal-hal yang demikian.

 

Aku sudah dibekali macam-macam les sejak dini, dini hari. Tidak , maksudku sejak kecil. Sehabis sekolah, harus ada kegiatan yang menuntut akademik lagi. Jika tidak, main hp nonton tv, main hp nonton tv, main hp nonton tv, ea. Paling menarik adalah les sempoa, jadi di Bandung ada yang namanya Lembaga Adil Sempoa Mandiri (ASMA). Seperti nama penyakit ya, awal-awal aku mendengarnya begitu. Tapi justru ini yang membuatku tergila-gila. Jarang jarang ada penyakit yang bikin candu, aku seperti ingin terus sakit terus daripada sehat tapi disagih bohongnya dunia.

 

Ternyata ini merupakan sebuah lembaga pendidikan kursus aritmetika, dimana kita akan belajar bareng sempoa guna menyeimbangkan antara otak kiri dan kanan. Banyak dari kita tidak dilatih hal tersebut, jadi lebih dominan ke salah Tidak mesti dengan bermain sempoa saja, karena itu mengarah ke senam otak. Bisa juga dengan sering berolahraga dan berlatih memecahkan masalah yang lainnya. Namun saat itu aku tidak mengambil les yang di pusat, karena privat lebih menyenangkan menurutku. Sampai beranjak remaja akhirnya aku sadar bahwa anak zaman sekarang manja-manja sekali, khususnya aku. Hanya berjalan kaki sedikit saja menuju tempat les yang sebenarnya kurang lebih satu kilometer dari rumah tidak mau. Tak akan berubah kaki kita menjadi kaki gajah. Jika malas minta diantarkan naik motor. Aku menggerutuki diriku sendiri. Itu semua tidak pernah terpikirkan, cara yang praktis lebih sederhana Memang sebenarnya ada program diajarkan langsung dari rumah, namun itu semua tidak berlaku pada murid-murid dulu yang mengenal “Tidak ada rumput yang nyamperin kambing, yang ada adalah sebaliknya”.

 

Hal demikian dipegang erat-erat, mengapa tidak berlaku sekarang? Zaman now ini seperti geli mengulang masa lalu yang nuansa kedekatannya sangat erat. Mungkin seperti tidak ada kelas-kelas formal yang berkedudukan di ruang-ruang yang ada di sekolah. Guru disamperin oleh murid yang ingin belajar di balainya. Tidak gengsi untuk hanya sekedar memanggil atau mengingatkan guru jika ada pelajaran yang harus di ajarkan pada waktu yang telah ditentukan. Seperti kalimat “Kami sudah bayar, kemana pula Bapak dan Ibu Guru ini.” Asal kalian tahu, sama sekali guru-guru itu tidak makan dari sumbangan pembinaan pendidikan kalian. Karena mereka ada mendapat insentive sendiri. Senonoh sekali kalian jika berucap seperti itu. Seakan kalian itu siapa, padahal bukan apa-apa. Setelah itu persepsi ketua kelas yang seharusnya menjadi pemimpin malah seakan-akan jadi suruhan saat itu, “Hai Pak Ketua, Itu tanggung jawabmu. Panggilkan Pa Guru.” Satu kelas nyeletuk. Dalam pandangan guru sendiri juga senang-senang saja pada hakikatnya. Apalagi jika melihat anak didiknya unggul dibidang yang diajarkan. Mereka rela meluangkan waktunya guna memberikan yang terbaik dan mencerdaskan anak-anak bangsa.

 

____________________

 

Namanya Bunda Indah, guru privat kami. Karena aku dan kakak ku baru menyelesaikan jam pelajaran di sekolah pada siang hari. Kami memulai les setelah ashar pada sore hari. Rasanya kedatangan beliau paling ditunggu-tunggu waktu itu. Kami sudah menanti di pagar rumah. Saat muncul motor Astreanya di punggung gang, girangnya bukan main. Lalu saat tiba kami sambut dengan ramah tamah dan mempersilahkan masuk ke rumah. Saat tiba di dalam rumah malah kami yang dijamu, bukan yang menjamu. Iya, dijamu dengan manik-manik ajaib. Soroban adalah pegangan kami. Yaitu swipoa-nama asli sempoa yang dirancang dengan bilangan desimal asli. Dimana ada 2 bagian barisan manik, yang atas terdiri dari satu baris bernilai lima,

sedangkan yang bawah terdiri dari dari empat baris bernilai satu. Garis pemisah antara kelompok tersebut dinamakan “garis nilai”, namun sejatinya menyatu, ea. Jika keadaan nol tidak ada manik yang menempel di garis nilai tersebut. Sedangkan batang swipoa titik tengah paling kanan adalah satuan, semakin ke kiri puluhan, ratusan, dan seterusnya. Asal soroban dari Jepang, kemudian di modifikasi dan diajarkan deret-deret bilangan secara visual. Bunda mengajarkan dengan gembira memakai metode penambahan dan pengurangan lewat nyanyian.

 

Ciri khasnya warna hitam dan merah melekat hingga saat ini, timbul simpul ketakutan akan angka-angka yang dirajut namun menghasilkan gairah untuk memecahkan persoalan yang ada. Kadang iseng juga mencoba Swipoa yang aslinya dari Rusia-katanya. Dikenal dengan sebutan schoty. Lebih menarik karena biasanya saat ini telah berubah memiliki warna yang beragam dan menarik bagi anak-anak. Dengan sepuluh baris, dan setiap batang tersebut memiliki sepuluh manik. Kembali ke “Jamuan”. Saya biasanya di temani kakak saya untuk ikutan belajar sempoa. Biasanya Bunda Indah selalu membekali kami dengan nasihat yang kadang tidak kami dapat di bangku sekolah. Seperti jangan takut pada deretan tak terhingga, perkalian, pembagian, limit, integral, turunan dan teman-temannya di sekolah nanti. Saat ini saya menemukan filosofi tersebut yang dinamakan kalkulus. Terdapat dalam master piece Andrea Hirata berjudul Guru Aini. Sebual prekuel novel orang-orang biasa. Di situ tertulis “ Kau mengalami apa yang disebut knowledge paronoia. Suatu gejala yang dialami orang yang bersusah payah menguasai sesuatu, lalu menguasainya, lalu takut untuk belajar lebih lanjut pada tingkatan yang lebih sulit dan tinggi karena takut menjadi tak mengerti lagi. Usah risau,

itu hanya gejala ringan.

 

Namun matematika jangan dikatakan seperti itu. Jangan belajar matematika seperti orang berpolitik. Dapat suara, menduduki jabatan, lalu nyaman, diam saja, tak peduli pada janji-janji dan amanah yang dieemban. Tidak semuanya tentunya, mereka berkontribusi memajukan bangsa. Bahkan ada yang dari mereka menjadi Ulama yang intelek, bukan intelek yang ulama ya. Karena matematika sendiri adalah janji-janji yang indah, dan ia tak pernah ingkar janji. Dalam bab lanjutan buku kalkulus itu akan kau temukan bagaimana matematika menepati janji-janjinya tersebut. Belajar, belajar, belajar. Itulah mentalitas matematika. Progres! Progres! Progres!. Setiap sore hari akhirnya konsisten saya mendengar dan mencerna apa yang diajarkan oleh Bunda Indah, dengan hal-hal baru yang mengejutkan tentunya. Sampai esok hari saat pagi kembali mengantarkan saya ke kelas sekolah. Ketika berjumpa dengan guru matematika, sudah tidak heran lagi jika ditunjuk ke depan kelas untuk memberikan jawaban atas soal yang diada-adakannya. “Alhamdulillah, ini kan pembahasan kemarin sore” pikirku dalam hati. Angka-  angka tersebut masih terekam jelas di pandanganku. Indah sekali, seperti membayangkan cantiknya kota Bandung kala itu. Sore kembali menjemput anak cempoa-baku sempoa ini. Untuk dipertemukan kembali dengan sang Bunda.

 

 

 

“Anak-anakku, Alhamdulillah segala kegiatan dipermudah hingga satu semester ini. Maka dari itu sebentar lagi kita akan lulus tingkat satu lalu lanjut ke tingkat dua, dan akan ada Lomba Mental Aritmetika. Yakni olimpiade daerah yang akan diwakilkan oleh masing-masing tingkat nantinya. Insya Allah, jika berhasil, kita bisa mewakili Kota Bandung ini untuk bersaing di tingkat nasional. Apakah ananda dan adinda berkenan untuk mengikuti?”

“Wah sepertinya menarik bunda” jawab Kakakku.

 

“Aku juga mau ikut dong, aku tidak mau kalah dengan kakakku” balasku.

 

“Alhamdulillah, maka dari itu. Mari kita siapkan sebaik mungkin, karena acara kurang lebih satu bulan lagi dari sekarang. Bunda harap kita dalam keadaan sehat wal ‘afiat sampai hari H. Agar dapat berlomba-lomba dalam kebaikan.”

 

Akhir kata dari Bunda kami, setelah meginformasikan akan ada acara yang bergengsi pikirku saat itu. Aku tidak bisa membayangi bertarung dengan anak-anak yang belajar langsung dari pusatnya, segan sekali. Pasti mereka lebih banyak mendapatkan pengalaman dan arahan. Begitupula sarana dan latihan mereka tentu lebih baik dari kami yang hanya anak rumahan. Nyaliku ciut setelah aku memikirkan hal tersebut. Hari-hari selajutnya pikiran itu hanyut, di telan ombak semangatku yang lebih besar. Karena aku dihasut oleh spidol-spidol yang ada di papan tulis kecil rumahku. Hasil dari gambaran Bunda ku tentunya. Yakni, ia ingin menghubungkan antara garis panjang dan garis pendek. Kemudian ia bertanya, “Bagaimana cara agar garis pendek lebih panjang dari garis panjang itu sendiri?” Ia memberi aku dan kakakku masing-masing sekali saja untuk berpendapat. Dengan Spidol, penggaris, dan penghapus papan tulis yang ia serahkan kepada kami untuk menjawab secara bergantian. Hasilnya, tidak ada satupun jawaban kami yang benar-benar tepat. Justru pilihan tertuju ke penghapus papan tulis yang kami pakai untuk menghapus si “garis panjang”. Sehingga terlihat pendek dari pada “garis pendek” itu sendiri. Spidol dan penggaris dibiarkan iri melihat hanya si penghapus yang di gunakan. Lalu Bundah Indah menjelaskan, “Ini adalah garis panjang, dan dibawahnya adalah garis pendek, Garis pendek akan lebih panjang dari garis panjang itu sendiri jika kita menambahkan garis tersebut hingga melampaui si “garis panjang”. Begitulah hakikatnya, kita tak perlu berbuat curang terhadap yang lain jika ingin unggul. Hanya perlu belajar lebih baik daripada apa yang mereka

 pelajari. Bekerjalah melebihi apa yang mereka kerjakan. Sekarang teringat pula apa yang di jadikan motivasi saat menghadapi ujian nasional ketika sudah Tsanawiyah. Oleh Kang Nanang, motivator ulung saat itu, kini dan selamanya, abadi. Mantra ini sangat sakti, mahkan masih membekas hingga kami lulus dari sekolah tersebut. “Fokus pada tujuan, tutup semua godaan, lakukan yang terbaik.”

 

Saya mulai paham, semua ini cukup dilakukan dengan belajar giat. Sampai hari pergi ke bulan, kegiatan yang ditunggu-tunggu tiba. Telah hadir dari belbagai orang pelosok Kota Bandung. Mulai dari Juri-juri hingga peserta-peserta yang di dampingi pembimbing dan walinya. Acaranya sendiri bertempat di Taman Lalu Lintas Bandung, yang dinamakan juga dengan Taman Ade Irma Suryani. Seorang putri Jenderal besar saat itu, Jenderal Nasution. Setelah tiba waktu pelaksanaan, aku dan kakakku juga peserta lainnya langsung menaiki panggung dan duduk berdasarkan kontingen masing-masing. Kami diberi kertas soal terlebih dahulu oleh kaka panitia dengan cara terbalik, alasannya biasa, agar kami tidak melihat terlebih dahulu. Ternyata lima pertanyaan pertama tidak dari soal yang tertera di kertas, namun juri mendiktenya.

 

Kami harus tanggap karena tidak ada pengulangan. Bersenjata pensil penghapus dan temannya, tidak membawa manik manik ajaib ke panggung. Justru ini istimewanya, kami bisa merasakan ia walaupun tidak berada di dekat kami, ea. Jika dilihat oleh penonton memang aneh sekali, kami menggerakkan tangan di meja seakan-akan mengurek-ngureknya. Bisa juga mengarah ke udara dengan bermain jempol dan telunjuk, sampai ada yang ngomong microsoft excel menangis melihat ini, si fulan udah pake kalkulator masih aja error, kalkulatornya loh noob rupanya. Setelah menjawab lima pertanyaan awal dengan cepat dan Insya Allah tepat hehe. Kami langsung diperkenankan mengerjakan yang ada di kertas. Hingga akhirnya larut dalam deret-deret aritmatika.

 

Semuanya tidak sabar menunggu siapa duluan yang menyelesaikan. Sampai ada salah satu peserta yang sudah memegang kepalanya, aku melirik-melirik sekitar tidak fokus. Juga ada yang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sampai waktu hampir habis akhirnya ada yang mengangkat tangan duluan, aku telat satu posisi. Giliran kakakku yang mengangkat tangan, aku hilang dua urutan. Lalu, baru urutan ketiga aku menyelesaikan soal dan mengangkat tangan tanda sudah siap. Hingga waktu habis ada lima orang yang menyelesaikan sebelum tenggatnya. Namun itu hanya soal cepat, kami belum tau siapa yang paling tepat. Aduh, aku kesal. Pesimis melihat usahaku di atas panggung hingga di dahului oleh orang yang tidak ku kenal dan kakakku sendiri. Seluruh peserta mulai meninggalkan panggung utama. Kakak panitia mulai mengambil dan mengumpulkan kertas lomba kami yang kami tinggalkan di atas meja. Aku dan kakakku menyamperi Ibuku dan Bunda Indah, Sembari istirahat saat juri mulai memeriksa lembar-lembar jawaban kami. Kakakku menertawakanku karena ia lebih unggul di bidang kecepatan. Tapi Ibuku dan Bunda Indah sepakat untuk membelaku agar jangan di kucilkan.

 

Sudah sampai saat ini aku sangat bersyukur. Sekarang tinggal pasrahkan semuanya kepada Allah. Jika kakakku yang maju nantinya memegang piala, aku juga tidak keberatan, soalnya bukan aku yang megang, haha. Duh jadi deg-degan, padahal belum 5 menit kami meninggalkan panggung. Juri mulai bersiap mengumumkan hasil perlombaan. Dimulai dari kategori yang terkecil hingga terbesar, kakakku dipanggil pertama kali sebagai juara ketiga, kemudian disusul aku sebagai juara pertama. Alhamdulillah apa yang dipelajari selama ini membuahkan hasil, bukan aku yang hebat, tetapi berkat do’a dan dukungan keluarga terutama orang tua, kemudian guru-guru, dan sahabatku lainnya.

YAKUSA

YAKIN USAHA SAMPAI


Komentar

  1. Suka banget sama ceritanya👍🏻👍🏻

    BalasHapus
  2. Wah... cerita yang sangat menyenangkan dibaca. Seperti kenal orang-orangnya. Sukses terus ya dik!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer